Etika sougo sosha

Pelajaran dari sogo sosha Sogo sosha merupakan organisasi perusahaan niaga Jepang yang unik berdasarkan jaringan unit-unit kerja yang berdiri sendiri namun saling mendukung. Perusahaan berkategori sogo sousha adalah perusahaan yang besar dan memiliki anak cabang di seluruh dunia. Pada masa sebelum perang, istilah sogo sosha belum dikenal, adapun perusahaan-perusahaan besar yang sering melakukan perdagangan luar negeri dikatakan sebagai boueki sosha (perusahaan perdagangan luar negeri) waktu itu, sedangkan perusahaan yang tidak melakukan perdagangan luar negeri disebut shoji kaisha. Barulah pada pertengahan tahun 1954, muncul istilah sogo sosha. Pada masa itu definisi yang pasti tentang sogo sosha belum ditemukan, namun dapat digambarkan secara kasar bahwa perusahaan yang terasuk kategori sogo sosha adalah perusahaan yang menangani perniagaan banyak produk atau tidak terpusat pada satu produk, menangani ekspor impor, memiliki kantor cabang di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang memadai di bidang pemasaran dan keuangan. Perusahaan yang termasuk kategori ini antara lain, Mitsubishi Shoji, Matsui bussan, Marubeni, C. Itoh, Sumitomo shoji, Nissan-Iwai, Toyo Menka, Kanematsu-Gosho, Toyota, Toshiba, Hitachi, dan Nichimen. Perusahaan berkategori sogo shosha mengerjakan berbagai bidang seperti pengerjaan kontraktor konstruksi, disain arsitektur, memprakarsai proyek sendiri, pembikinan suatu produk, pengepakan, tekstil, perkayuan, pengembangan sumber daya, perkapalan, pergudangan, pengepakan, leasing, bank dagang, dan agen perjalanan. Perusahaan sogo sosha berhasil menguasai dunia melebihi perusahaan yang berkembang di Amerika dan Inggris. Strategi pengembangan perusahaan dengan sistem seperti ini tentu saja sangat didukung pemerintah karena dapat menaikkan ekspor yang signifikan, yang pada akhirnya meningkatkan devisa negara. 

Konsep tatemae dan honne

Konsep Tatemae dan honne

Hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sistem perusahaan Jepang adalah selain memahami etos kerja dan jaringannya, yang tak kalah penting adalah dengan memahami karakteristik orang-orang di dalamnya. Orang Jepang pada umumnya sangat sensitif terhadap segala situasi, apa yang dilakukan, dan apa yang dikatakan harus mempertimbangkan keadaan sekeliling. Mereka tidak menginginkan setiap orang merasa terancam olehnya dalam kondisi apa pun, sehingga seolah mereka akan berpikir daripada menyakiti lebih baik diam.

Seorang antropologis Jepang, Chie Nakane berpendapat tentang bangsanya dengan uangkapan, “Orang Jepang itu tidak punya prinsip”, ungkapan ini bukan tanpa alasan, ‘tidak punya prinsip’ di sini, dari sudut pandang orang Jepang bukan persoalan kemunafikan atau ketidaktegasan, melainkan bahwa sesungguhnya orang Jepang memiliki sikap tenggang rasa akan perasaan orang lain. Untuk menggambarkan sikap seperti ini, dalam bahasa Jepang ada konsep yang dikatakan sebagai tatemae dan honne. Kedua konsep ini harus berjalan bersamaan dan tanpa konflik. Tatemae mengacu pada ‘bagian depan dari sebuah bangunan; suatu istilah yang mengacu pada apa yang diekspresikan di wajah; apa yang muncul di permukaan. Sedangkan honne mengacu pada ‘suara hati nurani; yang berarti apa yang benar-benar dipikirkan dan yang dirasakan. Orang Jepang selalu mempertimbangkan mengenai diri seseorang bahwa mungkin ada sesuatu yang berbeda antara apa yang dipikirkan dengan yang diucapkan, sehingga keharmonisan dalam hubungan antar personal harus tetap terjaga. Oleh karena itu, orang Jepang akan berusaha mengungkapkan pendiriannya itu sesuai dengan kondisi dan prilaku yang berlandaskan tatemae dan honne.

Suatu kata hati atau honne akan terdengar bila dalam situasi yang mengijinkannya, misalnya dalam keadaan yang informal, akrab, duduk bersantai dengan kolega dan lain sebagainya. Pada pola pikir bangsa Jepang dalam berinteraksi, demi mempertimbangkan tatemae, maka honne harus selalu dipertimbangkan, demikian juga sebaliknya meskipun hal itu terdengar tidak terbuka bagi kita, tapi bagi orang Jepang itu adalah cara yang sopan dan baik untuk memahami honne orang lain.

Seorang Amerika misalnya, menganggap bahwa keterbukaan harus diucapkan secara langsung karena itu bagian dari kejujuran, dan menganggap bahwa orang lain pun akan menerimanya secara terbuka meski itu menyakitkan pada akhirnya, namun bagi orang Jepang keterbukaan tidak akan diungkapkan secara terang-terangan karena harus selalu mempertimbangkan keadaan orang lain atau mitra wicara, tapi hal ini bukan berarti tidak jujur, melainkan karena ia harus memahami perasaan orang lain agar tidak merasa tersinggung, yang bagi kita mungkin sikap seperti itu malah justru seolah-olah ketidakterbukaan.

Ada peribahasa Jepang menagatakan ‘Ishin denshin’ yang bermakna bahwa tanpa ada komunikasi lisan pun suatu komunikasi dapat terbina melalui komunikasi hati.

Oleh karena itu, jika kita ingin membuat kesepakatan dengan perusahaan Jepang maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan konsep tatemae yang mereka tampilkan dengan honne yang mereka inginkan.
Selanjutnya klik di sini

Arubaito

Arubaito

Kata arubaito berasal dari bahasa Jerman arbeiten yang artinya ‘bekerja’. Di Jepang kata ini lebih populer digunakan untuk mengistilahkan kerja sampingan atau kerja paruh waktu. Arubaito umumnya dilakukan oleh seseorang yang tidak bermaksud untuk memiliki pekerjaan tetap, seperti ibu rumah tangga atau pun pelajar yang bekerja sambil kuliah misalnya. Jaman sekarang orang Jepang menyebut arubaito dengan kependekannya menjadi baito. Berarti kalau ingin mengatakan ‘bekerja sampingan’ sebagai kata kerja, maka menjadi baito suru.

Hampir semua perusahaan dan instansi membuka peluang arubaito. Disamping itu bahkan pemerintah pun menyarankan agar setiap perusahaan memberi peluang baito kepada warganya dengan tujuan setiap warga menjadi produktif dalam pemenuhan kebutuhannya. Dengan dilakukannya sistem arubaito, memungkinkan perusahaan untuk mengefisiensikan kinerja, tenaga, dan waktu. Keuntungan perusahaan adalah di samping sudah memiliki karyawan tetap berarti tidak perlu merekrut karyawan tetap lagi sehingga cukup melakukan penggajian pegawai baito dengan sistem honor per jam, dari segi efisiensi waktu, karyawan tetap bisa melakukan istirahat cukup untuk menyimpan tenaga sehingga bisa mengerjakan pekerjaan pokok berikutnya karena terbantu oleh adanya pegawai baito.

Dengan adanya kesempatan arubaito banyak masyarakat Jepang memiliki kerja sampingan atau kerja paruh waktu di sebuah perusahaan, bahkan seorang mahasiswa bisa membiayai kuliahnya sendiri hanya dengan melakukan baito, sehingga tentu saja menjadikan pemuda Jepang umumnya mudah untuk meraih gelar dari jenjang perguruan tinggi. Makanya, persoalan kuliah atau lanjut study bukan masalah keuangan, karena uang bagi masyarakat atau pemuda Jepang mudah didapatkan hanya dengan baito.
Selengkapnya klik di sini

Hatarakibachi

Hatarakibachi 
Hataraki artinya ‘bekerja’, bachi berasal dari kata hachi artinya ‘serangga’, jadi hatarakibachi berarti ‘serangga kerja’, atau sering disebut juga sebagai ‘kutu kerja’ di Indonesia. Sebutan ini untuk menggambarkan bahwa orang Jepang adalah orang yang gila kerja, suatu pekerjaan mereka lakukan dengan tanpa mengenal waktu. Jam kerja umumnya di mulai sejak pukul sembilan sampai pukul lima sore, namun para pekerja Jepang selalu menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai pada hari itu, tidak menunda-nundanya, sehingga pekerjaan tersebut umumnya dikerjakan hingga harus lembur. Hatarakibachi melahirkan semangat kerja keras, ketekunan, keuletan dalam bekerja, itu sebabnya mengapa orang Jepang dianggap sebagai bangsa terampil dan menyukai pekerjaan. Faktor utama yang menyebabkan bangsa Jepang harus memiliki sifat hatarakibachi adalah lingkungan alam yang menantang. Bayangkan saja negara yang kecil hampir sebesar pulau Sumatra, 80 % daerah pegunungan yang hampir dihuni oleh gunung berapi, sisanya dataran rendah yang hanya sedikit untuk bisa ditanami pertanian. Negara ini terletak di tengah laut samudra Pasifik sebagai negara kepulauan, yang selalu diterpa gelombang tsunami, badai salju, gempa, angin taifun dan berbagai tantangan lainnya. Selain itu, pergantian musim juga mempengaruhi cara pandang dan cara hidup orang Jepang. Mereka harus berjuang bekerja keras untuk bertahan dalam menghadapi setiap pergantian musim itu. Faktor lain yang menyebabkan orang Jepang memiliki sifat hatarakibachi adalah karena bangsa Jepang memiliki sikap penghargaan tinggi terhadap sebuah pekerjaan. Mereka memiliki sikap loyal terhadap pekerjaan sehingga dengan penuh dedikasi akan melakukan apapun demi kemajuan perusahaan, bahkan perusahaan atau kantor dianggap sebagai rumah kedua. Adanya Jaminan perusahaan terhadap karyawan juga menjadi salah satu faktor pendorong seseorang untuk bekerja mati-matian. Proses keuntungan timbal balik antara perusahaan dan keryawan menjadikan semua komponen perusahaan bergerak dinamis hingga melahirkan sikaf hatarakibachi. Jiwa hatarakibachi adalah jiwa disiplin spiritual, bukan sekedar berorientasi pada keuntungan materi belaka. Hal inilah yang membedakan cara pandangnya dengan konsep Barat yang menyatakan bahwa waktu adalah uang, setiap pekerjaan selalu dikaitkan dengan uang. Jepang memiliki kekhasan segi menejerial, penghargaan atas loyalitas adalah prioritas utama bagi suatu perusahaan.